Hari Puisi Sedunia: Berkenalan dengan Penyair Berdiksi ‘Nyentrik’

Syafina Amorita Candini

Content Writer

Mahasiswi Universitas Indonesia

Halo, Youngsters! Tahukah kamu ada apa hari ini? Hari ini, 21 Maret, adalah Hari Puisi Sedunia. Hari Puisi Sedunia diresmikan oleh UNESCO pada tahun 1999 di Perancis dengan harapan agar masyarakat tetap dapat melestarikan puisi sebagai bentuk karya sastra. Adanya penetapan Hari Puisi Sedunia ini merupakan refleksi keinginan masyarakat agar puisi tetap menjadi sarana generasi mendatang untuk menyalurkan ekspresi dan kreativitasnya.

 

Berbicara mengenai puisi, apa yang ada di benakmu ketika membayangkan kata ‘puisi’? Sajak yang indah dengan ritme seirama? Diksi atau majas yang halus? Ironi yang dikemas dengan apik? Memang benar, tetapi tidak semua puisi seperti itu, lho. Ada juga puisi-puisi dengan diksi ‘nyentrik’ yang bahkan ditulis oleh penyair-penyair hebat. Puisi dengan diksi ‘nyentrik’ ini menggunakan kata-kata vulgar dan biasanya ditulis oleh figur-figur pemberontak atau revolusioner.  Lantas, siapa saja sih penulis hebat yang kerap menulis puisi dengan diksi ‘nyentrik’ tersebut?

  1. WS Rendra

Penyair yang lahir di Solo ini sudah tidak asing lagi di belantika kesusastraan Indonesia. Ia pernah membacakan puisi karyanya di depan mahasiswa untuk membakar semangat mahasiswa di era Orde Baru. WS Rendra dikenal dengan puisi-puisi berdiksi ‘nyentrik’ seperti pada kalimat /mencium bau kencing orok di kaki langit/ di puisinya yang bertajuk Sajak Pertemuan Mahasiswa. Kalimat lainnya seperti /dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka/ pada Sajak Sebatang Lisong. Dari kedua puisi tersebut, dapat dilihat bahwa penggunaan diksi WS Rendra cenderung lebih berani dan ekspresif.

 

  1. Arthur Rimbaud

Apabila Indonesia memiliki penyair seperti WS Rendra, Perancis juga memiliki penyair seperti Arthur Rimbaud. Penyair yang lahir di Chatterville ini merupakan penyair termuda di zamannya. Ia menggunakan diksi-diksi yang ‘nyentrik’ sebagai refleksi pemuda yang cenderung bebas. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai representasi penyair modern. Diksi ‘nyentrik’ dalam puisi Arthur Rimbaud ini misalnya pada kalimat /seorang bodoh yang hina, bertekuk lutut di kakimu/ dari puisinya yang berjudul Ophelia. Contoh lainnya adalah diksi-diksi dalam puisinya yang bertajuk First Night.

 

  1. Bertolt Brecht

Beralih ke negara Jerman, penyair yang terkenal dengan perlawanannya terhadap ideologi Nazi ini kerap menciptakan puisi dengan unsur kritik sosial. Ia juga tidak ragu dalam memaparkan realitas dan keinginannya untuk menentang ideologi Nazi. Hal tersebut dapat ditilik dari puisi-puisinya yang secara gamblang menyatakan ketidaksetujuan terhadap pemerintah di era tersebut. Puisi-puisinya juga mengandung diksi ‘nyentrik’, misalnya pada kalimat /tolonglah dokter, mens saya sudah terlambat datang/ di Balada Paragraf 218 atau diksinya yang terdapat di puisi bertajuk Kata-kata Seorang Buruh kepada Seorang Dokter.

 

Puisi berdiksi ‘nyentrik’ ini bukan menjadi sesuatu yang dianggap tidak wajar, melainkan estetika tersendiri yang diciptakan oleh penyairnya. Gaya berpuisi seperti ini mengilustrasikan pemuda-pemuda yang ingin bebas dalam menyampaikan aspirasi. Nah, bagaimana menurutmu, Youngsters? Apakah kamu juga tertarik untuk menciptakan puisi berdiksi ‘nyentrik’?

 

Sumber gambar:

ngelmu.id , thefamouspeople.com , imdb.com

[ultimate_fancytext strings_textspeed=”35″ strings_backspeed=”0″ fancytext_strings=”Powered by
Media Officer Team ISYF”]
Previous Post
Pendidikan Sebagai Tolok Ukur Kebahagiaan Suatu Bangsa
Next Post
Hari Air Sedunia (World Water Day): Air sebagai Sumber Harapan Masa Depan

No results found.
keyboard_arrow_up