Halo Youngsters! Tahukah kamu? 22 Juni setiap tahunnya diperingati sebagai hari lahir Kota Jakarta yang dikenal sebagai ibukota negara Indonesia. Tahun ini, Kota Jakarta genap berusia 491 tahun. Kota Jakarta secara fundamental memang telah menyimpan banyak sejarah, misalnya sejarah budaya dan sejarah pada nama ‘Jakarta’ itu sendiri. Sebelum diresmikan, Kota Jakarta ini mulanya memiliki nama Sunda Kelapa yang kemudian oleh Pangeran Fatahillah diganti menjadi Jayakarta. Beberapa pergantian nama juga dilakukan setelahnya, yakni pengubahan nama Jayakarta menjadi Batavia, Batavia menjadi Djakarta, dan Djakarta menjadi Jakarta. Pengubahan nama ini pada hakikatnya memang menyesuaikan kondisi sosial budaya Jakarta pada masa tersebut.
Berbicara mengenai lahirnya Kota Jakarta, kota ini tak luput dengan sejarah budaya yang mengiringinya. Kesenian budaya Betawi sebagai budaya khas daerah Jakarta mayoritasnya adalah hasil akulturasi dari budaya-budaya luar. Sebagai contoh, baju pernikahan adat Betawi merupakan akulturasi budaya Tionghoa dan Arab, Tanjidor merupakan akulturasi budaya Portugis, Gambang Kromong merupakan akulturasi budaya Tionghoa, serta Samrah merupakan akulturasi budaya Arab. Konsep akulturasi budaya ini melambangkan masyarakat Betawi yang menerima perbedaan dan menjunjung nilai toleransi.
Lantas, mengapa akhir-akhir ini problematika ‘perbedaan’ menjadi isu hangat di Kota Jakarta? Padahal, apabila ditilik dari aspek budaya, budaya Betawi yang mengiringi lahirnya Kota Jakarta sendiri tak luput dari konteks akulturasi budaya. Bahkan, orang-orang yang berada di balik sejarah berubahnya nama Jayakarta menjadi Jakarta adalah orang-orang yang memiliki latar belakang dan suku yang berbeda tetapi juga turut andil dalam pengubahan nama tersebut. Hal ini yang memperkuat pernyataan bahwa Jakarta lahir dalam balutan perbedaan. Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian menyatu dalam bongkahan hasil budaya kesenian Betawi yang juga hadir sebagai potret kesenian Jakarta. Seperti kita ketahui bahwa basis dari budaya Jakarta adalah perbedaan dan ini adalah alasan kuat untuk mengesampingkan problematika perbedaan yang marak akhir-akhir ini.
Hari lahir Kota Jakarta diharapkan menjadi refleksi pemuda bahwa perbedaan yang telah mendasari sejarah budaya Jakarta memang bukan menjadi halangan untuk bersatu. Hasil peleburan akulturasi budaya luar dan proses sejarah di balik nama Jakarta juga lahir dari perbedaan. Sebagai pemuda yang kritis dan berkarakter, kita diharapkan mampu menoleransi perbedaan yang ada lantaran perbedaan adalah suatu keunikan tersendiri sebagai anugerah dari Sang Pencipta.
Sumber: http://jakarta-tourism.go.id/historic-jakarta
Sumber gambar: http://jelajah-nesia.blogspot.co.id/2012/12/ondel-ondel-betawi-yang-unik-dan.html
Syafina Amorita Candini
Mahasiswi Universitas Indonesia
Media Officer Team ISYF”]